Notice: Function _load_textdomain_just_in_time was called incorrectly. Translation loading for the islamic-center domain was triggered too early. This is usually an indicator for some code in the plugin or theme running too early. Translations should be loaded at the init action or later. Please see Debugging in WordPress for more information. (This message was added in version 6.7.0.) in /home/u1734669/public_html/wp-includes/functions.php on line 6114

Notice: Function _load_textdomain_just_in_time was called incorrectly. Translation loading for the give domain was triggered too early. This is usually an indicator for some code in the plugin or theme running too early. Translations should be loaded at the init action or later. Please see Debugging in WordPress for more information. (This message was added in version 6.7.0.) in /home/u1734669/public_html/wp-includes/functions.php on line 6114

Notice: Function _load_textdomain_just_in_time was called incorrectly. Translation loading for the wordpress-seo domain was triggered too early. This is usually an indicator for some code in the plugin or theme running too early. Translations should be loaded at the init action or later. Please see Debugging in WordPress for more information. (This message was added in version 6.7.0.) in /home/u1734669/public_html/wp-includes/functions.php on line 6114

Notice: Function _load_textdomain_just_in_time was called incorrectly. Translation loading for the advanced-ads domain was triggered too early. This is usually an indicator for some code in the plugin or theme running too early. Translations should be loaded at the init action or later. Please see Debugging in WordPress for more information. (This message was added in version 6.7.0.) in /home/u1734669/public_html/wp-includes/functions.php on line 6114
iujwzqgp, Author at Islamic Centre Bekasi

Istighosah Akbar Sekaligus Pembukaan Majelis Ta’lim PIIICB dan Peresmian Muallaf Centre dalam rangka Milad Islamic Centre Bekasi Ke 31.

Upacara Pengibaran B

#CatatanAminIdris

Tadi pagi adalah upacara pengibaran bendera HUT RI yang ke 31 kalinya di Islamic Centre sejak lembaga ini berdiri. Oleh pendirinya, pengibaran bendera 17 Agustusan di IC adalah sebuah kewajiban.

Adalah KH Noer Alie, Pahlawan Nasional pendiri Perguruan Attaqwa juga pendiri Islamic Centre. Baginya Pancasila sebagai ideologi sudah final.

Perdebatan tentang Pancasila bagi KH Noer Alie sudah final sejak tahun 1980-an ketika negara mencantumkannya sebagai atas tunggal. Maka sejak itu seluruh institusi yang dibawah naungannya mengikuti realitas politik saat itu.

Begitu juga di Islamic Centre. Sikap itu lebih “danta” lagi karena ada peran Suko Martono, Rusmin dan Wikanda. Ketiganya adalah tokoh militar yang bergabung bersama KH Noer Alie membangun Islamic Centre. Tak ada yang meragukan nasionalisme ketiga tokoh ini.

Maka, ketika tadi seluruh pengurus dan pegawai Yayasan menggelar upacara bendera memperingati HUT RI, teriakan komando hormat pada Merah Putih sungguh menggetarkan tanah Islamic.

“Kepada Sang Merah putih, hormaaaaat … “

Getar hormat itu menggebrak hati dan jiwa setiap orang. Seakan menjawab tudingan miring yang macem-macem tentang Islamic.

Tudingan yang mengatakan Islamic berideologi kekanan-kananan, tempat ngumpul kelompok radikalis, ekstrimis dan bahkan pernah dianggap sarang kelompok terorisme.

Rupanya baru ketauan belakangan ini, stigma-stigma jahat itu disematkan untuk membuka jalan kepentingan kapitalis yang mencari lahan strategis. Nyaris saja, Islamic kecolongan saat itu.

Kini pads momentum HUT RI ke 79, semua jurus dilakukan pengurus. Upaya spiritual terus dilakukan dengan jalan memanjatkan doa. Di majelis-majelis taklim, jamaah diajak untuk mendoakan Islamic centre agar pengurusnya bisa menemukan solusi pembangunan masjid yang sudah 12 tahun tertunda.

Bagi kami, doa itu senjata umat Islam.

Di setiap jumat, ketua Yayasan bersama pengurus melakukan safari jumat. Menjalin silaturrahmi dan mengajak masjid-masjid untuk tahu mengapa masjid Islamic tak kunjung rampung.

Di dalam, ikhtiar untuk melakukan komunikasi kepada para pejabat pemerintahan baik di pusat mau pun di Provinsi, khususnya pejabat Pemkot Beksi terus diintensipkan. Karena memang di sinilah sesungguhnya kunci pembangunan itu tersimpan.

“Semua ukhtiar ini untuk mengingatkan bahwa Islamic ini milik ummat, masjid ini untuk ummat, pengurus ingin meningkatkan manfaat Islamic agar bisa maksimal buat kesejahteraan ummat,” kata Heri Suko Martono ketua Pengurus Islamic Centre saat memberi sambutan milad.

Maka pada rangkaian HUT RI kali ini pengurus Yayasan hadir dalam setiap derap kegiatan kebangsaan ini. Pada rapat paripurna Dewan baik di Kota maupun di kabupaten Bekasi, pengurus mengutus wakilnya.

Soreharinya di tanggal 16, pengurus bersama seniman kota Bekasi menggelar puisi dan deklamasi kebangsaan. Sebuah perhelatan jiwa. Pada tgl 17 nya bendera Merah putih pun dikibarkan dari halaman upacara Islamic.

Merdekaaaaa …

Pekik suara itu keras menggelegar. Sama seperti banyak teriakan rakyat umumnya. Suara keras itu terdengar merindukan merdeka. Seperti juga Islamic Centre yang masih memperjuangkan kemerdekaannya.(*).

Islamic Centre Bekas

#CatatanAminIdris

IslamicBekasi – Agustus tanggal 15 tahun 2024, Islamic Centre memperingati miladnya yang ke-31. Aneka kegiatan diadakan. Selain menggelar doa Syukur juga beberapa kegiatan lain mengiringinya.

Pada usianya yang ke-31 ini Islamic Centre Bekasi perlu mempertegas lagi sikapnya sebagai gerakan Islam yang moderat, Islam wasathiyah atau gerakan tengah.

Islam inilah yang disebut Ibnu Katsir sebagai ummatan wasatha, citra ideal umat terbaik (khair al-ummah). Definisi ini termaktub dalam QS Ali Imran ayat 110.

Islam wasathiyyah pada intinya bermakna sikap tengah di antara dua kubu ekstrem. Sebagai sikap adil dan proporsional, penuh keseimbangan antara dunia dan akhirat, keseimbangan antara kebutuhan fisik dan jiwa, keseimbangan akal dan hati, serta berada di posisi tengah antara neo-liberalisme (al-mu’aththilah al-judud) dan neo-literalisme (al-zhahiriyyah al-judud).

Sikap moderat ini pula yang menjadi fondasi utama dibangunnya Islamic Centre Bekasi, di bawah panji panji persatuan (wihdah) dan persaudaraan (ukhuwah).

Para founding father Islamic, di antaranya KH Noer Alie dan H Suko Martono mencita-citakan, Islamic Centre ini menjadi tempat yang bisa membahagiakan semua umat manisia.

Karena itu, di tengah arus pemikiran dan gerakan Islam yang makin beragam dan syarat kepentingan, Islamic Centre perlu menunjukkan identitasnya sebagai gerakan Islam yang berbasis pada keseimbangan dan berada di posisi tengah, moderat atau washathy.

Dalam perjalan sejarahnya Islamic Centre pernah dituding sebagai gerakan yang terlalu ke“kanan-kananan”. Ada juga yang menuding sebagai tempat subur gerakan ekstrem dan kelompok radikal.

Bahkan saya pernah diperiksa penyidik densus 88 atas adanya laporan bahwa di Islamic pernah dipakai latihan “perang-perangan” oleh orang yang kemudian ditangkap dan divonis sebagai kelompok radikal.

Tudingan-tudingan itu jelas tanpa dasar. Dipakai hanya untuk menyudutkan Islamic Centre. Dijadikan pembenaran untuk mengubah area Islamic ini menjadi comercial area. Islamic centrenya dipindahkan ke daerah pinggiran.

Di lahan Islamic ini pernah ada yang rencanakan akan dibangun hotel, pusat perbelanjaan, perkantoran dan sebagainya. Gila, kan!

Memang, tantangan terberat Islamic Centre terjadi pada kurun 10 tahun terakhir ini. Di mana ada tekanan pihak luar mengintervensi Yayasan dengan menyodorkan nama nama orang titipan untuk dijadikan pembina Yayasan.

Beberapa tokoh dan ulama tergabung tim tujuh menorong dilakukannya perubahan Dewan Pembina. Skenario ini dipakai untuk mencoba mengambil alih Yayasan dengan menguasai formasi Dewan Pembina.

Untungnya, para tokoh dan ulama yang membawa missi itu lebih mencintai Islamic Centre ketimbang mengusung kepentingan infisible hand saat itu. Maka niat itu padam di tengah jalan. Alhamdulillah.

Kini, PR besar Yayasan selaku pengelola Islamic Centre adalah merampungkan pembangunan masjid. Tanpa dukungan dari Pemerintah kota Bekasi PR ini tidak akan bisa selesai secepatnya.

Mengapa demikian? Karena pembangunan di atas lahan milik pemerintah jelas memerlukan Perjanjian Kerjasama (PKS) dan IMB. Beberapa donator besar mundur teratur karena Pembangunan masjid tidak dibekali legalitas itu.

Bahkan Ridwan Kamil saat masih menjabat Gubernur, yang berjanji akan menyelesaikan pembangunan masjid tiba-tiba hilang begitu saja. Dugaan sementara, RK mundur karena faktor legalitas ini.

Kini, pada miladnya yang ke-31, pengurus Yayasan terus berikhtiar mencari jalan. Dalam kesempatan audien, Pj. Walikota Raden Gani Muhamad, kami membicarakan persoalan ini. Menurutnya PKS, IMB dan retribusi semestunya bisa diselesaikan, tidak ada masalahnya berat. Begitu kata Pj Gani Muhammad.

Saya optimis di tangan Pj. Walikota Perjanjian Kerjasama ini bisa diselesaikan. Maka milad Islamic Centre yang ke-31 ini memiliki catatan sejarah awal berakhirnya masa kelam perjalan Islamic Centre Bekasi dan nama Pj Walikota Gani R Muhammad akan terukir indah dalam sejarah
Islamic Centre.

Selamat milad, Islamic Centre Bekasi.

Penyembelihan Hewan

Alhamdulillah hari ini telah selesai dilaksanakan pemotongan hewan qurban yang diantaranya 5 sapi dan 23 kambing, hewan qurban disalurkan kepada warga sekitar Islamic Centre Bekasi.

Kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pequrban yang telah berpartisipasi dalam ibadah qurban tahun ini di Islamic Centre Bekasi. Semoga Allah SWT menerima qurban kita semua dan menjadikannya sebagai amal yang diterima-Nya. Semoga kebaikan dan berkah-Nya senantiasa menyertai langkah-langkah kita. Terima kasih atas kepedulian dan kontribusi Anda dalam menjaga tradisi kebaikan ini.

Muslim Uyghur

Sahabat saya, ketua Perhimpunan Jurnalis Muslim Indonesia, Ismail Lutan, ngasih tau tentang sebuah buku baru. Judulnya Kolonisasi China Terhadap Dunia Islam dan Genosida Uyghur. Penulisnya Abdul Hakim Idris.

Kata Genosida Uyghur yang disebut Ismail menarik perhatian saya. Apalagi baru pada Juli 2023 silam saat saya berkunjung kembali ke Cina setelah tiga tahun, saya jumpa dengan beberapa teman di Hongkong dan di Shenzen, banyak cerita baru tentang Muslim di Uyghur dan China pada umumnya. Gambaran tentang muslim Uyghur terbayang kembali.

Dalam telponan dengan Ismail saat itu, katanya akan diadakan seminar atau diskusi tentang buku ini. Tidak dijelaskan apakah ini dalam rangkaian peringatan Imlek. Rasanya sih tidak.

Membahas Uyghur bisa diawali dengan pertanyaan pokok yang wajib diajukan, apa akar persoalan yang terjadi terhadap Muslim Uyghur di Turkistan Timur ini. Apakah persoalan kemanusiaan, persoalan politik dan teritorial, persoalan ekonomi atau persoalan kebencian terhadap Islam.

Salah-salah mendiagnosa, pasti outputnya salah juga.

Xinjiang pada awalnya bernama Turkistan Timur. Sejak zaman Dinasti Qing (1644-1911) sampai era republik (1911-1949) wilayah ini menjadi incaran China. Banyak potensi ekonomi terpendam yang menggiurkan.

Penduduknya saat itu mayoritas suku Uyghur. Mereka berbeda ras dengan penduduk China yang mayoritas suku Han. Sebagai daerah incaran China, maka konflik internal di wilayah ini terus bergolak. Nyaris mereka yang di sini tidak mengenal kata rukun dan stabil.

Infiltasi menjadi satu cara bagi China untuk menguasai daerah ini. Sampai pada akhirnya di tahun 1949, Turkistan Timur ini bertekuk lutut menjadi wilayah taklukan China.

Dideklarasikanlah sebuah wilayah otonomi Xinjiang Uyghur Autonomous Region (XUAR). Inilah awal nama Turkistan Timur perlahan hilang dari peta. Muncul nama Xinjiang sebagai daerah otonomi di China.

Saat itu, Xinjiang masih dihuni oleh suku Han sekitar 5 persen, tapi 90 persennya suku Uyghur.

Saat itu pulalah operasi besar terhadap Xinjiang dimulai secara terstruktur.

Ada tiga langkah yang dilakukan China untuk menaklukkan Uyghur di Xinjiang.

Pertama, dibuka secara massif migrasi suku Han ke Xinjiang. Apa yang terjadi kemudian? Kalau pada tahun 1949 hanya 5 persen orang Han, tapi pada tahun 1978 sudah lebih dari 40 persen. Kini tentu lebih banyak lagi. Ini teori klasik penaklukan sebuah teritorial.

China juga membuka proyek Xibu, yakni membangun Wilayah Barat (Open Up The West). Xinjiang ini posisinya di Bagian Barat China. Para investor diundang, spot-spot pembangunan digerakkan serentak, sentra-sentra bisnis dibuka, aneka penambangan dipromosikan. Maka, perekonomian pun semarak. Xinjiang tumbuh sebagai wilayah kaya yang memesona. Tapi, pelakunya orang Han semua.

Bagaimana dengan orang Uyghur? Kesempatan setara yang ada di dalam Undang-undang otonomi jadi benda mati. Dunia bisnis, akses menjadi pegawai perusahaan dan pemerintahan, fasilitas dan hak informasi hanya ada untuk orang Han.

Kecemburuan sosial pun mengeras. Orang Uyghur tersisih. Mereka sulit mengakses kehidupan Xinjiang yang tambah gemerlap. Kumulasi kecemburuan sosial terus memuncak.

Berikutnya adalah “Siniesization” sebuah pemaksaan identitas budaya dan Bahasa. Sebagai suku mayoritas, Han semakin merajalela. Mereka menerapkan Bahasa resmi. Jika ingin mendapat pengakuan harus berbahasa China. Toko-toko, kantor-kantor, pasar, pusat-pusat peradaban wajib mengganti bahasa mereka dengan bahasa resmi. Aksara dan literasi yang banyak dijiwai dari Bahasa Arab harus bersih di wilayah ini.

Bangsa-bangsa di Kawasan ini, seperti di Tajkistan, Kazakhstan, Kirgistan adalah masyarakat banyak diwarnai Bahasa Arab. Tapi kini aksara dan literasi Arab wajib dihapuskan.

Bray, selemah-lemahnya cacing jika terancam pasti melawan. Begitu juga suku Uyghur di Xinjiang. Mereka melawan untuk membela diri dan menadapatkan haknya.

Salah satunya aksi protes yang berakhir rusuh dengan sembilan orang tewas dan ribuan orang ditahan.

Ada lagi pada Juli 2009 kerusuhan di Urumqi antara etnis Uighur dengan Han yang menewaskan tidak kurang dari 184 nyawa.

Satu lagi pemberontakan besar di tahun 1990-an yang ditafsirkan oleh Rezim China sebagai pemberontakan tak termaafkan, tragedy Baren.

Dari perlawanan membela Uyghur skalanya bertembah menjadi upaya menumbangkan rezim Komunisme di Xinjiang.

Tapi pemerintah China makin memperketat proteksinya. Publikasi buku, novel, radio, koran, puisi, music Uyghur diawasi. Sensor makin ketat terhadap jurnal dan publikasi akademik. Semua yang berkaitan dengan Uyghur, terutama dalam konteks publikasi politik, sejarah dan budaya tidak luput dari pembredelan.

Terhadap ideologi Islam, ini pun sorotan utama. Madrasah, masjid dll, atau aktivias religi seperti puasa, sholat juga menjadi sasaran pemberangusan dan kriminalisasi.

Praktek-praktek kekerasan dan pembantaian terhadap suku Uyghur inilah yang – mungkin karena saya belum mambaca bukunya – disebutnya sebagai Genosida dalam cover buku ini.

Di China ada banyak suku. Suku Han adalah mayoritas. Masih ada lagi puluhan suku yang kecil-kecil. Selain Uyghur, suku Hui juga muslim. Suku ini pecahan dari Han. Mereka terpisah dari suku Han karena memilih sebagai muslim.

Suku Hui tinggal di beberapa wilayah. Terbesar ada di Xian. Muslim Hui berbahasa China. Mereka memiliki kultur dan budaya sama dengan Han, menjalankan muamalah sebagai muslim dalam hal ibadah, pernikahan, kematian dan bentuk bentuk lain seperti lazimnya seorang muslim.

Menariknya, jika pemerintah China begitu represif terhadap Uyghur, terhadap muslim Hui tidak. Belum pernah terdengar ada intimidasi sekecil apapun terhadap muslim Hui. Ini menarik. Mengapa pemerintah berbeda menghadapi kedua suku muslim ini ?

Hui tidak punya agenda politik yang dicurigai seperti suku Uyghur. Begitulah Analisa banyak pengamat.

Jadi yang dimusuhi bukan ideologinya. Bukan keyakinannya. Bukan agamanya. Pemerintah China memposisikan suku Uygur sebagai potensi separatis, bahkan dikategorikan sebagai teroris. Suku Uyghur yang muslim berpotensi menjadi gangguan pemerintah komunisme di Xinjiang. Muslim Hui tidak.

Sampai disini bisa disimpulkan, konflik di Xinjiang berakar pada persoalan politik. Islam sebagai agama yang dianut orang Uyghur menjadi korban sasaran saja.

Akhir Juli 2023 saya sempat berkunjung lagi ke China. Perjalanan pasca Pandemi Covid-19 ini hanya untuk empat Kota. Shenzhen, Dongguan, Guangzhou dan Hongkong sebagai pintu masuk saat itu.

Mulai dari berkunjung ke Masjid di Shenzhen kemudian stay beberapa hari di Guangzhou saya sempat bolak-balik mendatangi dua masjid di kota ini. Masjid Saad bin Abi Waqos dan Masjid Huishiang. Kedua masjid ini letaknya tidak berjauhan.

Tiap waktu diadakan sholat berjalamaah di kedua masjid ini. Sepekan sekali tidak ada hambatan untuk pelaksanaan Shalat Jumat. Cerita Abdullah, orang Afrika Selatan yang berbisnis di Guangzhou menuturkan, sudah dua kali dia sholat Iedul Fitri dan iedul Adha di sini.

Bahkan, sebagai orang asing yang berkunjung di Masjid ini, saya bisa bertanya banyak hal. Dan itu dilayani. Termasuk warung-warung dan rumah makan di seputar Masjid yang memiliki toleransi religius dengan menjelaskan bahwa makanan ini, ini dan yang itu tidak boleh buat saya. Karena saya orang masjid. Makanan itu ada babinya.

Beberapa Al-Quran terpampang di sekitar masjid. Bahkan di Masjid Saad bin Abi Waqos ada sebuah Maqbaroh yang begitu bersih, terawat dan hijau bak taman yang segar. Satu diantara banyak adalah makam Saad bin Abi Waqos. Cover makam Saad bin Abi Waqos terbuat dari sutra. Ada aroma wangi yang begitu keras. Ada hio yang terus mengepulkan asap wewanginan. Masjid dan maqbaroh ini menjadi destinasi wisata.

Pemerintah China komunis memberikan anggaran rutin untuk memelihara dua taman muslim ini. Karyawannya digaji pemerintah. Beberapa masjid lain, seperti yang di Beijing, Shanghai, Anhui, juga dibiayai pemerintah komunis ini. Di Shenzhen, selain masjid ada juga kegiatan Pendidikan dan pengajian.

Di Hongkong lebih menarik. Di wilayah otonomi ini ada enam masjid kategori Islamic Centre dan satu lagi di Maccao. Di sini kegiatan keislaman bukan hanya untuk urusan ibadah mahdhoh, tapi hal hal yang bersifat Pendidikan Islam, pengajian, kegiatan hari besar terselenggara. Bahkan seringkali mengundang pendakwah dari Indonesia.

Kegiatan dakwah di Hongkong, selama tidak mengganggu ketertiban orang lain, bisa berjalan. Tapi sekali saja ketahuan ada yang tidak tertib, mengganggu privasi orang lain pasti “disikat”.

Setidaknya begitu kata Muhaimin ustad asal Cirebon yang tinggal di Hongkong.

Di China memang sedikit lebih ketat. Semua warganya, tidak hanya umat Islam, diawasi CCTV. Bukan kelompok tertentu saja, tapi semuanya. CCTV tersebar di hampir setiap jengkal wilayah.

Semua gerak gerik orang, apalagi berkelompok lebih dari 3 orang dengan gaya pembicaraan serius pasti termonitor. Jangankan sampai anda membicarakan pemerintah, kebijakan pemerintah, tokoh pemerintah dan sebagainya. Pembicaraan ringan tentang politik atau apa saja yang yang “dianggap bahaya”pasti terdeteksi.

Maka, reaksi diskriminatif dan aksi kekerasan terhadap Uyghur di Xinjiang adalah bagian dari proses politik.

Agama dalam hal ini terkena imbasnya.

Beberapa kali aksi demo dan Gerakan perlawanan terhadap pemerintah menimbulkan reaksi yang berlebih dari pemerintah untuk terus menekan dan menindas. China tidak ingin menjadikan Xinjiang sebagai pemantik terhadap gerakan sparatis bagi yang lainnya. Cukup sekali saja peristiwa Tiananmen terjadai. Jangan terulang lagi.

Beijing ingin menjadikan Xinjiang sebagai Pelajaran terhadap kelompok sparatis di Mongol, Taiwan atau Hongkong sekalipun.

Namun harus diakui, pemerintah China memang bertindak diskriminatif dan berlebihan di Xinjiang. Undang-undang otonomi di Xinjiang yang semestinya memberikan kesetaraan, kesamaan hak dan keadilan, diabaikan. Sehingga kerap terjadi bentrok kepentingan antara Uygur dan Han yang dalam hal ini memiliki backingan para birokrasi. Jadi persoalan di Xinjiang adalah persoalan politik dan ketidak adilan ekonomi. Bukan permusuhan agama.

Apa yang dikecam oleh PBB adalah tidakan perlakuan tidak adil dan menjurus pada kebijakan yang represif. Sementara negara-negara yang berpenduduk mayoritas muslim pun tidak bisa berbuat, mereka hanya bisa diam menyaksikan. Sama halnya dengan Indonesia. Sebagian besar negara sudah terjerat rente yang membuatnya tidak bisa berkutik. Bahkan berkomentar jujur terhadap represi di Xinjiang pun tak kuasa.

Tidak ada jalan untuk berhenti. Ketegangan di Xinjiang membutuhkan satu Langkah diplomasi tingkat tinggi. Perlawananan dengan kekerasan hanya melahirkan kekerasan.

Beijing pun sesungguhnya ingin ada solusi diplomasi yang damai. Ini terlihat Ketika Dubes China roadshow ke Muhammadiyah dan NU untuk berbicara diplomasi, antara lain tentang Uyghur.

Dalam pandangan saya, upaya diplomatic tingkat tinggi itu antara lain menekan pemerintah untuk memberikan perlakuan seimbang, adil dan setara anatar orang Han dan Uyghur. Beijing harus memainkan peran politik dengan prinsif keadilan.

Sebaliknya, upaya-upaya provokasi dan tindakan-tindakan kontra produktif yang menjurus pada kekerasan segera diakhiri. Lakukan pendekatan diplomasi ke negara-negara berpenduduk muslim di semua belahan dunia, kepada tokoh-tokoh pentung dunia, termasuk kepada organisasi-organisasi muslim dunia. Lakukan pertobatan yang mendalam dari kedua belah pihak.

Itupun saya tidak menjamin langsung sukses. Karena setiap konflik selalu saja ada kepentingan fragmatis yang menempel. Tapi jika Solusi dengan jalan kekerasan yang diambil bisa dipastikan endingnya akan sama-sama jadi abu antara si kalan dan si menang. Wallohu a’lam.

Pengurus Islamic Cen

ICEBE, Bekasi – Alharokah Barokah. Wattaani Halakah. Begitu Doktor KH Zamakhsari Abdul Majid, Wakil Ketua pengurus Islamic Centre Bekasi berkomentar saat bersilaturrahmi kepada Kepala Kantor Kementrian Agama Kota Bekasi, H Sobirin, Kamis 21/09.

Maksudnya seorang muslim itu harus aktif, terus bergerak dan berkreasi serta berinovasi jika ingin hidupnya berkah. Sebaliknya sikap malas hanya akan melahirkan kesengsaraan.

Setidaknya ini yang dilakukan pengurus YNI saat ini. Dibawah kepemimpinan Dr. H. Heri Sukomartono dan wakilnya Dr. KH. Zamakhsari Abdul Majid, pengurus akan terus bergerak menggalang silaturrahmi ke seluruh komponen umat. Termsuk ke Kepala Kementrian Agama Kota Bekasi.

Beberapa hal muncul dalam percakapan itu. Antara lain, bagaimana masjid Nurul Islam Islamic Centre Bekasi bisa segera tuntas pembangunannya. Sobirin juga memberi banyak masukan kepada Islamic mulai soal Upaya menghidupkan kegiatan masjid sampai masalah-masalah kegiatan usaha yang sesuai.

Kepala Kemenag didamping Kasubbag TU, H. Abdul Syakur. Sementara KH Zamakhsyari didampingi Sekretaris Yayasan Nurul Islam KH Noer Alie Islamic Centre Bekasi, Kabid Dakwah, Kabid usaha dan Ketua DKM. Pertemuan berlangsung penuh nuansa persaudaraan. (*)

Khitanan Massal Menj

ICEBE, Bekasi – Islamic Centre Bekasi melaksanan kegiatan pelayanan kesehatan sosial yakni Khitanan Massal atau Sunatan Gratis yang masuk kedalam Rangkaian Acara Milad Islamic Centre Bekasi ke 30 tahun. Program sunatan tersebut bekerjasama dengan Yayasan Bhakti Syiar Islam dan RS. Bhakti Kartini. Sabtu(19/8/23)

Acara ini menjadi momentum penting bagi banyak keluarga dalam menjalankan tradisi sunatan serta sebagai momen berbagi kebahagiaan dengan sesama.

Dalam kesempatan ini peserta yang mengikuti khitanan yaitu sebanyak 27 orang, selain itu juga peserta tidak hanya mendapatkan pelayanan khitanan gratis, mereka diberikan uang santunan dan alat – alat sekolah.

Festival Hadroh Mera

ICEBE, Bekasi – Dalam rangka Milad Islamic Centre Bekasi yang ke 30 tahun, Festival hadroh menjadi bagian dalam rangkaian kegiatan, Acara ini berlangsung di Gedung Aula Muzdalifah.Sabtu(19/8/2023)

Festival hadroh ini sangat antusias diikuti oleh 15 tim hadroh dari berbagai kalangan sekolah dan Pondok Pesantren.

Peserta Festival Hadroh harus mengikuti syarat dan ketentuan yang disiapkan oleh panitia dan dewan juri seperti vokal, durasi, dan kekompakan, dari penilaian itu dewan juri mendapatkan 3 peserta yang penilaian yang bagus dan berhasil mendapatkan juara diantaranya:

Juara 1 : Hadroh Sidrotul Muntaha mendapatkan piala dan uang pembinaan sebesar Rp. 3.000.000
Juara 2 : Hadroh Syubbanul Khoir mendapatkan piala dan uang pembinaan sebesar Rp. 2.000.000
Juara 3 : Hadroh Miftahul Qolby mendapatkan piala dan uang pembinaan sebesar Rp. 1.000.000

× Ada yang bisa dibantu?