Sahabat saya, ketua Perhimpunan Jurnalis Muslim Indonesia, Ismail Lutan, ngasih tau tentang sebuah buku baru. Judulnya Kolonisasi China Terhadap Dunia Islam dan Genosida Uyghur. Penulisnya Abdul Hakim Idris.
Kata Genosida Uyghur yang disebut Ismail menarik perhatian saya. Apalagi baru pada Juli 2023 silam saat saya berkunjung kembali ke Cina setelah tiga tahun, saya jumpa dengan beberapa teman di Hongkong dan di Shenzen, banyak cerita baru tentang Muslim di Uyghur dan China pada umumnya. Gambaran tentang muslim Uyghur terbayang kembali.
Dalam telponan dengan Ismail saat itu, katanya akan diadakan seminar atau diskusi tentang buku ini. Tidak dijelaskan apakah ini dalam rangkaian peringatan Imlek. Rasanya sih tidak.
Membahas Uyghur bisa diawali dengan pertanyaan pokok yang wajib diajukan, apa akar persoalan yang terjadi terhadap Muslim Uyghur di Turkistan Timur ini. Apakah persoalan kemanusiaan, persoalan politik dan teritorial, persoalan ekonomi atau persoalan kebencian terhadap Islam.
Salah-salah mendiagnosa, pasti outputnya salah juga.
Xinjiang pada awalnya bernama Turkistan Timur. Sejak zaman Dinasti Qing (1644-1911) sampai era republik (1911-1949) wilayah ini menjadi incaran China. Banyak potensi ekonomi terpendam yang menggiurkan.
Penduduknya saat itu mayoritas suku Uyghur. Mereka berbeda ras dengan penduduk China yang mayoritas suku Han. Sebagai daerah incaran China, maka konflik internal di wilayah ini terus bergolak. Nyaris mereka yang di sini tidak mengenal kata rukun dan stabil.
Infiltasi menjadi satu cara bagi China untuk menguasai daerah ini. Sampai pada akhirnya di tahun 1949, Turkistan Timur ini bertekuk lutut menjadi wilayah taklukan China.
Dideklarasikanlah sebuah wilayah otonomi Xinjiang Uyghur Autonomous Region (XUAR). Inilah awal nama Turkistan Timur perlahan hilang dari peta. Muncul nama Xinjiang sebagai daerah otonomi di China.
Saat itu, Xinjiang masih dihuni oleh suku Han sekitar 5 persen, tapi 90 persennya suku Uyghur.
Saat itu pulalah operasi besar terhadap Xinjiang dimulai secara terstruktur.
Ada tiga langkah yang dilakukan China untuk menaklukkan Uyghur di Xinjiang.
Pertama, dibuka secara massif migrasi suku Han ke Xinjiang. Apa yang terjadi kemudian? Kalau pada tahun 1949 hanya 5 persen orang Han, tapi pada tahun 1978 sudah lebih dari 40 persen. Kini tentu lebih banyak lagi. Ini teori klasik penaklukan sebuah teritorial.
China juga membuka proyek Xibu, yakni membangun Wilayah Barat (Open Up The West). Xinjiang ini posisinya di Bagian Barat China. Para investor diundang, spot-spot pembangunan digerakkan serentak, sentra-sentra bisnis dibuka, aneka penambangan dipromosikan. Maka, perekonomian pun semarak. Xinjiang tumbuh sebagai wilayah kaya yang memesona. Tapi, pelakunya orang Han semua.
Bagaimana dengan orang Uyghur? Kesempatan setara yang ada di dalam Undang-undang otonomi jadi benda mati. Dunia bisnis, akses menjadi pegawai perusahaan dan pemerintahan, fasilitas dan hak informasi hanya ada untuk orang Han.
Kecemburuan sosial pun mengeras. Orang Uyghur tersisih. Mereka sulit mengakses kehidupan Xinjiang yang tambah gemerlap. Kumulasi kecemburuan sosial terus memuncak.
Berikutnya adalah “Siniesization” sebuah pemaksaan identitas budaya dan Bahasa. Sebagai suku mayoritas, Han semakin merajalela. Mereka menerapkan Bahasa resmi. Jika ingin mendapat pengakuan harus berbahasa China. Toko-toko, kantor-kantor, pasar, pusat-pusat peradaban wajib mengganti bahasa mereka dengan bahasa resmi. Aksara dan literasi yang banyak dijiwai dari Bahasa Arab harus bersih di wilayah ini.
Bangsa-bangsa di Kawasan ini, seperti di Tajkistan, Kazakhstan, Kirgistan adalah masyarakat banyak diwarnai Bahasa Arab. Tapi kini aksara dan literasi Arab wajib dihapuskan.
Bray, selemah-lemahnya cacing jika terancam pasti melawan. Begitu juga suku Uyghur di Xinjiang. Mereka melawan untuk membela diri dan menadapatkan haknya.
Salah satunya aksi protes yang berakhir rusuh dengan sembilan orang tewas dan ribuan orang ditahan.
Ada lagi pada Juli 2009 kerusuhan di Urumqi antara etnis Uighur dengan Han yang menewaskan tidak kurang dari 184 nyawa.
Satu lagi pemberontakan besar di tahun 1990-an yang ditafsirkan oleh Rezim China sebagai pemberontakan tak termaafkan, tragedy Baren.
Dari perlawanan membela Uyghur skalanya bertembah menjadi upaya menumbangkan rezim Komunisme di Xinjiang.
Tapi pemerintah China makin memperketat proteksinya. Publikasi buku, novel, radio, koran, puisi, music Uyghur diawasi. Sensor makin ketat terhadap jurnal dan publikasi akademik. Semua yang berkaitan dengan Uyghur, terutama dalam konteks publikasi politik, sejarah dan budaya tidak luput dari pembredelan.
Terhadap ideologi Islam, ini pun sorotan utama. Madrasah, masjid dll, atau aktivias religi seperti puasa, sholat juga menjadi sasaran pemberangusan dan kriminalisasi.
Praktek-praktek kekerasan dan pembantaian terhadap suku Uyghur inilah yang – mungkin karena saya belum mambaca bukunya – disebutnya sebagai Genosida dalam cover buku ini.
Di China ada banyak suku. Suku Han adalah mayoritas. Masih ada lagi puluhan suku yang kecil-kecil. Selain Uyghur, suku Hui juga muslim. Suku ini pecahan dari Han. Mereka terpisah dari suku Han karena memilih sebagai muslim.
Suku Hui tinggal di beberapa wilayah. Terbesar ada di Xian. Muslim Hui berbahasa China. Mereka memiliki kultur dan budaya sama dengan Han, menjalankan muamalah sebagai muslim dalam hal ibadah, pernikahan, kematian dan bentuk bentuk lain seperti lazimnya seorang muslim.
Menariknya, jika pemerintah China begitu represif terhadap Uyghur, terhadap muslim Hui tidak. Belum pernah terdengar ada intimidasi sekecil apapun terhadap muslim Hui. Ini menarik. Mengapa pemerintah berbeda menghadapi kedua suku muslim ini ?
Hui tidak punya agenda politik yang dicurigai seperti suku Uyghur. Begitulah Analisa banyak pengamat.
Jadi yang dimusuhi bukan ideologinya. Bukan keyakinannya. Bukan agamanya. Pemerintah China memposisikan suku Uygur sebagai potensi separatis, bahkan dikategorikan sebagai teroris. Suku Uyghur yang muslim berpotensi menjadi gangguan pemerintah komunisme di Xinjiang. Muslim Hui tidak.
Sampai disini bisa disimpulkan, konflik di Xinjiang berakar pada persoalan politik. Islam sebagai agama yang dianut orang Uyghur menjadi korban sasaran saja.
Akhir Juli 2023 saya sempat berkunjung lagi ke China. Perjalanan pasca Pandemi Covid-19 ini hanya untuk empat Kota. Shenzhen, Dongguan, Guangzhou dan Hongkong sebagai pintu masuk saat itu.
Mulai dari berkunjung ke Masjid di Shenzhen kemudian stay beberapa hari di Guangzhou saya sempat bolak-balik mendatangi dua masjid di kota ini. Masjid Saad bin Abi Waqos dan Masjid Huishiang. Kedua masjid ini letaknya tidak berjauhan.
Tiap waktu diadakan sholat berjalamaah di kedua masjid ini. Sepekan sekali tidak ada hambatan untuk pelaksanaan Shalat Jumat. Cerita Abdullah, orang Afrika Selatan yang berbisnis di Guangzhou menuturkan, sudah dua kali dia sholat Iedul Fitri dan iedul Adha di sini.
Bahkan, sebagai orang asing yang berkunjung di Masjid ini, saya bisa bertanya banyak hal. Dan itu dilayani. Termasuk warung-warung dan rumah makan di seputar Masjid yang memiliki toleransi religius dengan menjelaskan bahwa makanan ini, ini dan yang itu tidak boleh buat saya. Karena saya orang masjid. Makanan itu ada babinya.
Beberapa Al-Quran terpampang di sekitar masjid. Bahkan di Masjid Saad bin Abi Waqos ada sebuah Maqbaroh yang begitu bersih, terawat dan hijau bak taman yang segar. Satu diantara banyak adalah makam Saad bin Abi Waqos. Cover makam Saad bin Abi Waqos terbuat dari sutra. Ada aroma wangi yang begitu keras. Ada hio yang terus mengepulkan asap wewanginan. Masjid dan maqbaroh ini menjadi destinasi wisata.
Pemerintah China komunis memberikan anggaran rutin untuk memelihara dua taman muslim ini. Karyawannya digaji pemerintah. Beberapa masjid lain, seperti yang di Beijing, Shanghai, Anhui, juga dibiayai pemerintah komunis ini. Di Shenzhen, selain masjid ada juga kegiatan Pendidikan dan pengajian.
Di Hongkong lebih menarik. Di wilayah otonomi ini ada enam masjid kategori Islamic Centre dan satu lagi di Maccao. Di sini kegiatan keislaman bukan hanya untuk urusan ibadah mahdhoh, tapi hal hal yang bersifat Pendidikan Islam, pengajian, kegiatan hari besar terselenggara. Bahkan seringkali mengundang pendakwah dari Indonesia.
Kegiatan dakwah di Hongkong, selama tidak mengganggu ketertiban orang lain, bisa berjalan. Tapi sekali saja ketahuan ada yang tidak tertib, mengganggu privasi orang lain pasti “disikat”.
Setidaknya begitu kata Muhaimin ustad asal Cirebon yang tinggal di Hongkong.
Di China memang sedikit lebih ketat. Semua warganya, tidak hanya umat Islam, diawasi CCTV. Bukan kelompok tertentu saja, tapi semuanya. CCTV tersebar di hampir setiap jengkal wilayah.
Semua gerak gerik orang, apalagi berkelompok lebih dari 3 orang dengan gaya pembicaraan serius pasti termonitor. Jangankan sampai anda membicarakan pemerintah, kebijakan pemerintah, tokoh pemerintah dan sebagainya. Pembicaraan ringan tentang politik atau apa saja yang yang “dianggap bahaya”pasti terdeteksi.
Maka, reaksi diskriminatif dan aksi kekerasan terhadap Uyghur di Xinjiang adalah bagian dari proses politik.
Agama dalam hal ini terkena imbasnya.
Beberapa kali aksi demo dan Gerakan perlawanan terhadap pemerintah menimbulkan reaksi yang berlebih dari pemerintah untuk terus menekan dan menindas. China tidak ingin menjadikan Xinjiang sebagai pemantik terhadap gerakan sparatis bagi yang lainnya. Cukup sekali saja peristiwa Tiananmen terjadai. Jangan terulang lagi.
Beijing ingin menjadikan Xinjiang sebagai Pelajaran terhadap kelompok sparatis di Mongol, Taiwan atau Hongkong sekalipun.
Namun harus diakui, pemerintah China memang bertindak diskriminatif dan berlebihan di Xinjiang. Undang-undang otonomi di Xinjiang yang semestinya memberikan kesetaraan, kesamaan hak dan keadilan, diabaikan. Sehingga kerap terjadi bentrok kepentingan antara Uygur dan Han yang dalam hal ini memiliki backingan para birokrasi. Jadi persoalan di Xinjiang adalah persoalan politik dan ketidak adilan ekonomi. Bukan permusuhan agama.
Apa yang dikecam oleh PBB adalah tidakan perlakuan tidak adil dan menjurus pada kebijakan yang represif. Sementara negara-negara yang berpenduduk mayoritas muslim pun tidak bisa berbuat, mereka hanya bisa diam menyaksikan. Sama halnya dengan Indonesia. Sebagian besar negara sudah terjerat rente yang membuatnya tidak bisa berkutik. Bahkan berkomentar jujur terhadap represi di Xinjiang pun tak kuasa.
Tidak ada jalan untuk berhenti. Ketegangan di Xinjiang membutuhkan satu Langkah diplomasi tingkat tinggi. Perlawananan dengan kekerasan hanya melahirkan kekerasan.
Beijing pun sesungguhnya ingin ada solusi diplomasi yang damai. Ini terlihat Ketika Dubes China roadshow ke Muhammadiyah dan NU untuk berbicara diplomasi, antara lain tentang Uyghur.
Dalam pandangan saya, upaya diplomatic tingkat tinggi itu antara lain menekan pemerintah untuk memberikan perlakuan seimbang, adil dan setara anatar orang Han dan Uyghur. Beijing harus memainkan peran politik dengan prinsif keadilan.
Sebaliknya, upaya-upaya provokasi dan tindakan-tindakan kontra produktif yang menjurus pada kekerasan segera diakhiri. Lakukan pendekatan diplomasi ke negara-negara berpenduduk muslim di semua belahan dunia, kepada tokoh-tokoh pentung dunia, termasuk kepada organisasi-organisasi muslim dunia. Lakukan pertobatan yang mendalam dari kedua belah pihak.
Itupun saya tidak menjamin langsung sukses. Karena setiap konflik selalu saja ada kepentingan fragmatis yang menempel. Tapi jika Solusi dengan jalan kekerasan yang diambil bisa dipastikan endingnya akan sama-sama jadi abu antara si kalan dan si menang. Wallohu a’lam.